Program Mitigasi Bencana Membantu Para Perempuan Mandiri dan Percaya Diri Untuk Bersuara di Forum Desa
Program Mitigasi dan Pencegahan Kerusakan Lingkungan Melalui Advokasi dan Pemberdayaan Perempuan dan Forum Konsultasi Perempuan Desa/Kelurahan di Indonesia telah berjalan di 5 provinsi yaitu Desa Batee Iliek, Samalanga-Bireun NAD, Desa Pulau Jambu Kampar-Riau, Desa Cikaret Sukabumi-Jabar, Kelurahan Pondok Ranggon, Jakarta Timur-Jakarta dan Desa Sungai Raya Dalam Kubu Raya-Kalimantan. Program ini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat melalui forum perempuan untuk mencegah terjadinya kerusakan di lingkungan mereka. Selain itu forum perempuan juga mendorong serta mengadvokasi adanya kebijakan anggaran pemerintah desa/kelurahan untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Para penerima manfaat yang terdiri dari para perempuan akar rumput, pemimpin perempuan setiap desa dan juga perwakilan dari kelompok disabilitas perempuan. Program yang berjalan selama kurang lebih 7 bulan telah mencapai sejumlah hasil yang cukup menggembirakan dimana program ini dapat mengubah perilaku penerima manfaat langsung dalam mengelola sampah rumah tangga dan menumbuhkan kesadaran dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan, sehingga gerakan ini kemudian meluas tidak hanya di rumah tangga penerima manfaat namun juga ke lingkungan sekitar mereka. Para penerima manfaat juga merasakan peningkatan kepercayaan diri mereka dalam berkontirbusi untuk lingkungannya dalam hal pendaur ulangan sampah serta percaya diri dalam menyampaikan pendapatnya dan berpartisipasi aktif dalam forum-forum di masyarakat.
Dampak positif yang sangat terasa setelah mengiktui program ini terutama untuk para penerima manfaat disabilitas munculnya kepercayaan diri untuk ikut aktif dalam kegiatan masyarakat terlebih dalam kegiatan pengelolaan sampah daur ulang menjadi barang yang dapat digunakan kembali. Para penerima manfaat disabilitas pada program ini meruapakan penyandang disabilitas fisik dimana kemampuan untuk bergeraknya sangat terbatas.
Pada awalnya para pendamping lapangan mengalami kesulitan untuk mengajak penerima manfaat disabiltias untuk bergabung. Alasan yang paling umum yang dikemukakan oleh mereka adalah tidak percaya diri dapat bisa mengikuti kegiatan dengan baik terlebih jika harus memberikan pendapatnya di forum-forum masyarakat. Ketidakpercayaan diri ini bukan hanya karana keterbatasan fisik yang dimiliki tetapi juga keterbatasan pengetahuan dimana hampir rata-rata penerima manfaat disabilitas tidak mengenyam pendidikan hingga menengah ke atas.
Para pendamping lapangan terus melakukan pendekatan ke calon peserta disabilitas beserta keluarganya, memberikan penjelasan nantinya di program ini mereka akan dilatih dan terus didampingi hingga mampu mandiri untuk mendaur ulang sampah menjadi barang yang dapat digunakan kembali serta percaya diri jika harus bicara di forum masyarakat.
Salah satu penerima manfaat disabilitas yang berhasil mandiri untuk mengelola sampah menjadi barang guna pakai adalah Sania. Sania merupakan penerima manfaat disabilitas fisik yang tidak memiliki kedua lengan berasal dari Sukabumi Jawa Barat. Dulu sebelum Sania mengikuti pelatihan memiliki kebiasaan untuk membuang sebagaian sampah rumah tangganya ke sungai dan sebagian lagi dibakar. Dan sampah-sampah makanan di buang ke kolam ikan.
Pada program ini Sania mengikuti berbagai macam pelatihan mulai dari Pelatihan Penyadaran Kesadaran Lingkungan, Pengelolaan Sampah Rumah Tangga berkonsep 3 R serta workshop Mengubah Sampah Rumah Tangga yang dapat menjadi barang yang digunakan Kembali serta pelatihan konsolidasi forum. Sania baru memiliki kesadaran bahwa membuang sampah ke sungai, membakar sampah dan juga memiliki pengetahuan macam-macam limbah berbahaya setelah mengikuti pelatihan Kesadaran Lingkungan. Sania baru menyadari bahwa apa yang dilakukanya selama ini dalam membuang sampah ternyata memiliki pengaruh yang sangat buruk bagi lingkungan serta Kesehatan keluarganya secara tidak langsung.
Berkat mengikuti pelatihan tersebut Sania mulai mengubah kebiasaan sehari-harinya dalam mengelola sampah. Mulai bergerak serta untuk memisahkan sampah organic, non organick serta limbah rumah tangga B3. Dan juga cara mengelola sampah sesuai dengan jenisnya untuk meminimalisir sampah rumah tangga yang keluar. Pengetahuan ini juga bukan hanya diterapkan untuk diri sendirinya, tetapi juga Sania mengajarkan ini ke keluarga serta tetangganya.
Di sisi lain melalui program ini juga Sania mendapatkan keterampilan baru mengenai pengelolaan plastic sampah seperti bungkus kopi dan bungkus sabun/deterjen pada workshop Mengubah Sampah Rumah Tangga yang dapat menjadi barang yang digunakan kembali. Pada kegiatan workshop Sania juga merasa kecil hati apakah bisa menganyam bungkus kopi menjadi tas dan tikar dengan keterbatasan yang dimilikinya. Akan tetapi berkat dorongan serta semangat dari pendamping lapangan serta para peserta lainya, Sania mulai menghilangkan keraguan tersebut. Secara perlahan Sania mulai membiasakan diri untuk menganyam bungkus kopi menggunakan kakinya. Tentunya memiliki kesulitan tersendiri jika harus melakukannya menggunakan kaki, fleksibilitas pergerakanya juga sangat terbatas jika dibandingkan menganyam menggunakan tangan. Di sisi lain Sania merasa bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk membuktin bahwa dengan segala keterbatasannya Sania mampu seperti yang lain mengikuti seluruh kegiatan program dengan baik.
Saat ini para tetangga Sania juga sudah mengetahui bahwa Sania bisa membuat tikar dan tas dari bungkus kopi/detergen. Bahkan aktivitas menganyamnya ini menjadi kegiatan rutin setiap harinya. Sekarang para tetangga Sania secara tidak langsung sudah mulai ikut untuk memilah dan mengolah sampah organic maupun non organic, khusus untuk sampah bungkus kopi/detergen diberikan ke Sania untuk dibuatkan tikar.
Walaupun program telah selesai Sania masih tetap bersemangat untuk terus belajar, jika ada kesempatan Sania juga ingin belajar membuat kerajinan rangkaian bunga dari bekas kantong kresek, walaupun lebih sulit tetapi Sania sangat yakin bahwa dia bisa.
Selain kemampun hardskill, program ini juga sangat berdampak pada softskill komunikasi Sania terutama jika harus berbicara di tengah forum. Pada kegiatan forum, awalnya Sania hanya sebagai pendengar saja, tetapi lambat laun serta dukungan yang terus diberikan oleh teman-teman penerima manfaat lainya, akhirnya Sania memberanikan diri untuk mulai berbicara dan dia pun tidak menyangka bahwa peserta forum ternyata antusia dan ikut mendengarkan apa yang menjadi pendapatnya. Hal ini sangat membuat Sania termotivasi untuk selalu kegiatan kegiatan forum di lingkungan. Dan tentu terus belajar menyampaikan pendapatnya agar dapat bisa terus mewakili suara kelompok perempuan dan disabilitas.