Sidang Uji Materi UU Perkoperasian di Tengah Kemelut MK
Jaringan LSM untuk Demokratisasi Ekonomi tengah menggugat UU Perkoperasian No. 17 Tahun 2012. Saat ini telah menyelesaikan sidang ke V dengan agenda Mendengarkan Keterangan Saksi Ahli. Agenda selanjutnya adalah membuat kesimpulan hasil sidang-sidang yang akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari Selasa, 8 Oktober 2013. Silanjutnya MK akan menggelar sidang terakhir untuk menyampaikan keputusan.
Namun disaat menunggu keputusan tersebut, MK di gemparkan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh Akil Muchtar, ketua hakim konstusi, yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencari keadilan di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung, KPK menjerat Akil dengan 2 kasus penyuapan, yakni sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, belakangan setelah ruang kerja Akil di geledah, tim penyidik KPK juga menemukan narkoba di meja kerja Akil.
Dengan ditahannya Akil di hotel prodeo KPK maka hakim yang menyidangkan kasus gugatan maupun sengketa di MK tinggal 8 orang, yakni Hamdan Zoelva, Harjono, Anwar Usman, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Arief Hidayat dan Ahmad Fadlil Sumadi. Jumlah ini sama dengan saat sidang V Judicial Review UU Perkoperasian, padahal waktu itu Akil belum tertangkap tangan KPK. Anggota Jaringan LSM sempat bertanya-tanya, kemana Akil saat itu?
Harap-harap cemas menunggu keputusan hakim dirasakan oleh Anggota Jaringan LSM sebagai penggugat yakni Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Koperasi Karya Insani, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPek), Wigatiningsih, Sri Agustin Trisnantari, Sabiq Mubarok, Maya Saphira, S.E dan Chaerul Umam.
Semoga kasus Akil akan menjadi pelajaran berharga bagi hakim konstitusi lainnya untuk tidak bermain api dalam mengambil keputusan gugatan-gugatan di MK. Jika di tilik dari materi gugatan, keterangan saksi dan saksi ahli penggugat maka judicial review UU Perkoperasian ini masih mempunyai harapan untuk dikabulkan, sehingga beberapa pasal yang di gugat akan dicabut atau diperbaiki. Simak saja petikan keterangan saksi dan saksi ahli di sidang IV dan V berikut ini.
Saksi Mimin Mintarsih sebagai pengurus koperasi di Sukabimi mengakatakan Koperasinya berdiri pada tahun 2004 dan baru mendapatkan badan hukum pada tahun 2010, Mereka hidup berkoperasi jauh sebelum mendaftarkan koperasi sebagai badan hukum pada tahun 2010. Sebelum berbadan hukum, mereka sudah menyebut koperasi. Karena memang koperasi hakikatnya adalah perkumpulan orang, bukan kumpulan modal.
Sebelum bersama-sama teman-teman mengembangkan Koperasi Hasanah, Mimin sebetulnya sudah pernah menjadi anggota satu koperasi di desanya dengan nama Koperasi Pengembang Sumber Daya Kebun Pedas pada tahun 1996. Koperasi ini pada awalnya dimulai dengan sangat sederhana, dimulai dari kegiatan simpanan dan pinjaman anggota. Koperasi ini berjalan baik-baik saja sebelumnya.
Tentang Undang-Undang Perkoperasian No 17 tahun 2012 Mimin mengatakan “UU koperasi yang baru akan menyulitkan orang yang berkoperasi dengan cara yang sederhana, kalau koperasi itu harus berbadan hukum, sangat memberatkan kami. Sebagaimana yang kami rasakan misalnya ketika harus mulai koperasi, maka tidak mungkin harus membayar biaya notaris yang sebesar Rp. 5.000.000 dan belum lagi mengurus izin ini dan itu. Uang sebesar itu sangat besar artinya bagi koperasi kami”.
Saksi berikutnya adalah Trisna Ansarli, pensiunan dini guru yang kemudian mengalihkan profesi dan berkarya membangun koperasi pada tahun 1980, berkarya sebagai staf manajemen purnawaktu pada Badan Koordinasi Koperasi Kredit yang setelah berbadan hukum pada tahun 1998, menjadi induk koperasi kredit dan berkarya menumbuhkembangkan koperasi kredit di penjuru Indonesia.
Keberhasilan dari koperasi kredit yang dibangun merupakan jerih payah penuh kesabaran untuk membina masyarakat yang rata-rata secara ekonomi tadinya tergolong ekonomi lemah di pelosok-pelosok tanah air dan di pedalaman-pedalaman. Menurutnya keberhasilan koperasi ditentukan pada tiga pilar, yaitu pendidikan, solidaritas, dan swadaya berlandaskan jati diri koperasi.
Kemudian, ditekankan bahwa koperasi adalah organisasi orang di mana mereka dapat menjalankan prinsip saling tolong menolong dan bergotong royong, juga selalu menekankan bahwa kekuatan keswadayaan adalah merupakan kekuatan penting dan utama untuk membangun ekonomi yang mandiri dan berkelanjutan yang merupakan jati diri koperasi itu sendiri.
Selanjutnya Trisna mengatakan “Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian itu sudah salah dalam pendefinisiannya. Karena koperasi sesungguhnya adalah merupakan perkumpulan orang dan bukan badan hukum semata. Modal bukanlah utama dan hanyalah berperan sebagai pembantu dalam mencapai kesejahteraan insan-insan koperasi atauanggotanya”
Sementara itu pada sidang V, Robby Tulus sebagai saksi ahli mengatakan “Jati diri koperasi itu muncul tahun 1995. Jadi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 itu lahir tiga tahun sebelum keluarnya pernyataan jati diri itu, sehingga koperasi merupakan usaha bersama yang waktu itu dinamakan sebagai badan usaha. Jadi, belum yang mencerminkan basis manusianya sebagai alternatif dari korporasi atau perusahaan swasta yang masih berbasis modal”.
Selanjutnya Robby mengakatan, kemudian pendulum bergerak lebih ke kanan lagi pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 karena koperasi didefinisikan sebagai badan hukum, bukan sebagai perkumpulan otonomi orang secarasukarela. Yang didirikan orang perorangan atau badan hukum koperasi. Juga dijelaskan adanya pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha. Ini membawa implikasi bahwa modal dan badan usaha nampaknya didahulukan dan barulah kemudian aspirasi anggota dipenuhi. Padahal aspirasi anggotabukan sekedar ekonomi saja, namun juga aspirasi bersifat sosial dan budaya yang tidak sekedar dilayani melalui instrumen modal, dan juga oleh instrumen pendidikan serta pelayanan yang berkelanjutan.
Pentingnya modal sosial. Karena koperasi membangun modal sosial dan bukan sekedar modal moneter, maka modal sosial memiliki nilai jaringan, yaitu kebersamaan dan bukan sekedar pranata sosial atau lembaga kemasyarakatan sebagai produk dan norma sosial, namun juga mobilisasi modal ekonomi yang berkembang karena adanya nilai jaringan dan kebersamaan itu.
Di dalamnya terkandung elemen kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat di bidang sosial ekonomi, yaitu dengan memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi. Ini merupakan pengejawantahan yang jelas dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 juga modal sosial tidak dapat tumbuh secepat modal moneter karena membutuhkan kesabaran melalui pendidikan dalam jejaring keanggotaan.
Keberlanjutan koperasi sangat ditentukan kekuatan modal sosial sebagai kinerja kualitatifnya dan menjadi akar untuk melestarikan kinerja kuantitatifnya. Pendidikan anggota merupakan pemberdayaan anggota koperasi, sehingga terbentuklah modal sosial dan modal kemanusiaan, yaitu human capital yang membangun kepercayaan anggota untuk bisa berswadaya, menolong diri sendiri dalam konteks ini adalah self-help, yaitu berusaha bersama self mutual help, sehingga ada persamaan atau kesamaan kearah sikap solider, setia kawan, dan akhirnya menjadi demokratis dan berkeadilan.
Ini adalah nilai-nilai perkoperasian yang sangat sejalan dengan makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami percaya bahwa pendidikan tepat guna bagi anggota dan modal sosial, merupakan akar untuk membangun modal materi atau moneter di lembaga perkoperasian, terutama di negara sedang berkembang, yaitu developing countries seperti Indonesia. Kedua elemen dasar ini yang bersifat kualitatif nampaknya sulit terwujud kalau kita lebih menekankan aspek legalistik koperasi.
Definisi koperasi universal, yang dirumuskan ICA tahun 1995 sangat menekankan otonomi kesukarelaan dan persatuan orang-orang, yaitu anggota yang berkumpul untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi sosial dan budaya melalui perusahaan. Jadi perusahaan itu adalah instrumennya, alatnya yang mereka miliki bersama dan mereka kendalikan secara demokratis.
Definisi ini lahir dari hasil partisipasi tidak kurang 20.000 praktisi dan pemikir perkoperasian dan sangat terintegrasi dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang disepakati waktu itu. Intepretasi mengenai definisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian lebih menekankan aspek legalitasnya, yaitu badan hukum dengan penekanan pada modal ekonominya. Sehingga aspek kuantitas atau pertumbuhannya lebih menonjol dari aspek kualitas, yaitu membangun modal sosial dan kesejahteraan anggota, dan masyarakat. (shd).