Emansipasi dan Kesetaraan Gender
Bulan Juni 25 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 8 Juni 1986, lahir sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang didirikan oleh banyak laki-laki dan sedikit perempuan dengan nama Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita atau sekarang lebih dikenal dengan PPSW.
“PPSW didirikan untuk meningkatkan emansipasi wanita, karena pada saat itu jumlah wanita yang terlibat didalam kegiatan pembangunan atau yang bersekolah tinggi masih sedikit” demikian dijelaskan oleh A.M. Saefuddin, salah seorang laki-laki pendiri PPSW dan sekaligus bertindak sebagai Ketua Yayasan An-Nisa Indonesia (YANI) sebuah yayasan yang menaungi LSM PPSW.
Pada tahun 1986, belum banyak LSM yang bertujuan untuk meningkatkan emansipasi wanita . Padahal saat itu sudah banyak LSM berdiri tetapi tujuannya sangat umum misalnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan sejenisnya. Tidak populernya LSM yang mengusung emansipasi wanita, karena masyarakat sudah terpola bahwa perempuan memang sudah layaknya bekerja didalam rumah menyelesaikan urusan dapur, sumur dan kasur. Begitu kuatnya pola fikir yang memisahkan peran laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin membuat semua orang membenarkan jika buruh perempuan digaji lebih kecil dari pada buruh laki-laki dengan jenis dan jam kerja yang sama.
Kondisi perempuan yang banyak tertinggal oleh laki-laki terjadi di semua bidang, seperti pendidikan, pekerjaan , kesehatan, pengambil keputusan, jumlah pemimpin dan seterusnya, mudah kita temukan. Kondisi tahun 2011 hanya berbeda tipis dengan kondisi 25 tahun yang lalu saat PPSW didirikan. Jumlah murid laki-laki dan perempuan di tingkat SD dan SMP hampir sama banyaknya, tetapi untuk SMA dan perguruan tinggi semakin sedikit jumlah pelajar perempuannya. Hal ini ironis jika dibandingkan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, tetapi kesempatan perempuan untuk mendapatkan hak pendidikan lebih sedikit. Hal ini tidak terlepas dari anggapan masyarakat bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya kedapur juga. Idiologi Patriarkhi telah tertanam begitu kuat di masyarakat, disadari atau tidak, inilah faktanya.
Keberadaan PPSW sejak berdirinya memang sudah berpihak kepada perempuan terutama dari golongan masyarakat sosial ekonomi lemah. Karena golongan inilah yang paling banyak tidak mendpatkan hak-hak nya sebagai warga negara. Mereka adalah golongan yang termarjinalisasi dari kegiatan pembangunan, terdiskriminasi dalam akses sumberdaya, tersubordinasi oleh pembagian peran yang sengaja atau tidak telah dibentuk oleh masyarakat secara sosial dan dikuatkan oleh sistem negara yang lebih mengutamakan laki-laki untuk semua bidang pekerjaan dan akses sumberdaya. Perempuan juga menjadi korban yang paling banyak jumlahnya dalam tindak kekerasan baik di dalam rumah (kekerasan dalam rumah tangga) maupun dalam kegiatan public (di luar rumah seperti korban perampokan, pelecehan seksual sampai kekerasan fisik).
Kondisi perempuan yang masih lemah dibandingkan laki-laki, membuat PPSW semakin serius melakukan pendampingan kepada kelompok perempuan sosial ekonomi lemah ini, yang kemudian kami sebut sebagai kelompok perempuan basis. Untuk mengikuti perkembangan sosial politik yang terjadi di tingkat nasional dan global, PPSW juga secara sadar melakukan perbahan kelembagaan. Pada saat berdiri, PPSW adalah lembaga pelasakna dari YANI, posisi ini dirasakan sulit untuk mengembangkan organiasasi PPSW sehingga PPSW memandang perlu menjadi lembaga otonom dengan badan hukum yayasan PPSW, kemudaian berubah lagi menjadi perkumpulan PPSW dan sekarang menjadi Asosiasi PPSW.
Perkembangan lembaga PPSW ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap kelompok dampingan PPSW. Pada akhir Desember 2010, jumlah anggota kelompok dampingan PPSW yang tercatat aktif lebih dari 14.000 orang yang berada di 6 propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Aceh, Riau dan Kalimantan Barat. Jumlah kelompok dampingan PPSW akan menjadi lebih besar lagi jika dihitung dengan wilayah-wilayah yang pernah didampingi PPSW dan sekarang telah dialihkan kepada LSM lokal di Jawa Timur, Sumatra Utara dan Jawa Tengah. Kelompok perempuan basis dampngan PPSW ini telah mengubah wajah perempuan yang tidak berdaya menjadi berdaya, yang tidak percaya diri pada awalnya sekarang menjadi pemimpin yang sering diberi peran sebagai kader lokal oleh pemerintah dan tokoh masyarakat informal.
Lebih dari 1.500 orang anggota kelompok perempuan basis ini yang sudah menjadi pengurus kelompok, pengurus koperasi, pengurus forum, pengurus serikat perempuan basis, pengurus dewan sekolah, pengurus dewan keluarahan, pengurus kegiatan sosial di lingkungan masyarakat dan pengurus RT, bahkan beberapa orang diantaranya pernah mencalonkan diri menjadi kelapa desa. Sejak Pemilu Tahun 1999 pada masa Reformasi, sebagian pengurus kelompok ini telah terlibat menjadi panitia dan pengawas Pemilu (independen). Mereka juga bergerak akti f melakukan pendidikan Pemilu yang menggerakkan kaum perempuan diwilayahnya untuk aktif menggunakan hak suaranya dan mereka telah berikrar untuk menjadi Pemilih cerdas memilih pemimpin yang berkualitas. Mereka juga menggunakan hak pilihnya dengan semboyan Pemilih perempuan memilih pemimpin perempuan. Hal ini tidak lain untuk mendukung jumah perempuan yang lebih banyak duduk dibangku legislatif dan eksekutif.
PPSW perlahan tapi pasti telah konsisten selama 25 tahun mendorong emansipasi wanita Indonesia yang kini lebih popler dengan istilah Kesetaraan Gender. Dua kata ajaib ini Emansipasi wanita dan Kesetaraan Gender telah mengantarkan perempuan memperoleh kebebasannya dalam meraih hak-hak asasi manusianya yang telah lama diabaikan karena sistem Patriarkhi yang telah membelenggunya. Kelompok perempuan basis dampingan PPSW dimulai dari kelompok simpan pinjam yang mengelola dana swadaya dari simpanan pokok yang besarnya Rp 500 (lima ratus rupiah) dan simpanan wajib Rp 100 (seratus rupiah) kini telah menjelma menjadi koperasi wanita dengan total asset lebih dari 3 miliar (jika dikumpulkan dari 17 koperasi primer yang dikelola oleh dampingan PPSW). Suatu jumlah yang tidak pernah dibayangkan akan mampu dikumpulkan dan dikelola dana sebanyak itu. Saat ini PPSW dapat membuktkan kepada dunia, bahwa kelompok perempuan basis yang tidak berdaya akan mampu menjelma menjadi kekuatan besar jika mereka bersatu padu mengumpukan energy bersama, untuk melawan keidak adilan gender di semua bidang dan membangun masyarakat yang berkeadilan gender, sehingga mampu membangun masyarakat yang lebih adil, demokratis, cinta perdamain dan bahagia dunia akhirat.
Jika Kartini Pahlawan emansipasi wanita Indonesia masih hidup, mungkin beliau akan tersenyum melihat kebangkitan kaumnya dari kegelapan dan ketidak berdayaan menuju terbitnya terang dan menyongsong kesetaraan gender dalam segala bidang. Pada tahun 2011 ini seharusnya angka partisipasi murid perempuan dan laki-laki sama untuk tingkat sekolah dasar dan menengah jika mengacu tujuan Milenium Development Goals (MDGs). Tapi Indonesia masih ketinggalan untuk mencapai tujuan MDGs dibidang pendidikan dasar dan menengah ini. Dan kelihatannya, Indonesia harus bekerja lebih keras lagi untuk mengejar ketinggalan pada seluruh tujuan MDGs ini.
PPSW sudah berkontribusi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, yang merupakan tujuan ke 4 MDGs. Jumlah anggota kelompok dampingan 14.000 orang memang sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang perempuan sekitar 118 juta orag lebih (Sensus Penduduk 2010). Tapi mereka telah membentuk Serikat Perempuan Basis Indonesia (SPBI) yang telah diikrarkan pada bulan Desember 2010 yang lalu. Mereka , para perempuan basis akan bersatu dengan perempuan basis lainnya terutama yang telah diorganisir oleh LSM perempuan se Indonesia. Perempuan basis akan bangkit mengajak kaumnya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia dalam kerangka keadilan dan kesetaraan gender.
Tulisan ini kami dedikasikan untuk kelompok perempuan basis dampingan PPSW dan semua perempuan basis di seluruh Indonesia. Bangkitlah dan bersatu untuk memperjuangkan 12 poin ketidak adilan gender yang terdapat didalam konferensi bejijing. Indonesia sudah meratifikasi Undang-undang anti diskriminasi yang diadopsi dari konferensi CEDAW dan masih banyak lagi undang-undang yang menjamin kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sekarang saatnya bangkit untuk mengejar ketinggalan di segala bidang. Selamat HUT PPSW Ke 25, pada bulan Juni 2011. Tetap konsisten pada visi dan misi Pemberdayaan perempuan dan transformasi sosial khususnya untuk perempuan Indonesia. (es).